Penulis : Dinda Mega Natasya

Malang, Smart Indonesia Academy —
Pada masa sulit, siapa yang memiliki atau mampu meraup dana segar akan menjadi penentu permainan. Ada berbagai taktik meraih near cash. Apa saja?

Cash is the Best tidak lain untuk menekankan bahwa yang terpenting dalam sebuah bisnis pada akhirnya adalah cash. Siapa pun yang bisa menyimpan cash sebanyak dan secepat mungkin akan selamat di persaingan bisnis.

Mengapa cash sedemikian berharga? Hal ini
dikarenakan cash menjadi satu-satunya yang konkret dan likuid dibandingkan income dan profit yang masih berupa catatan ditumpukan laporan keuanganmu. Bagi pelaku bisnis yang berada di situasi biasa-biasa saja atau cenderung aman, cash menjadi motor
penggerak untuk mempersiapkan diri di medan pertarungan berikutnya.

Kamu bisa menggunakan cash di tangan untuk membangun pabrik baru, meramu inovasi produk, dan melakukan perbaikan pelayanan kepada pelanggan. Percayalah, krisis bisa terjadi kapan saja dan tidak menutup kemungkinan berikutnya giliran kamu dalam bahaya. Tidak ada yang namanya keberuntungan. Sukses adalah ketika persiapan dan kesempatan bertemu.

Artinya, cash sudah di tangan bahkan sebelum pelanggan menggunakan barang dan jasa yang sudah dibayar di depan. Masih dalam suasana pemulihan bisnis akibat pandemi, saya akan bagikan lima taktik untuk mempercepat terjadinya near cash.

1) Berikan pelanggan jaminan rasa aman ketika membeli.

Seringkali, banyaknya kebutuhan yang dipenuhi tidak diiringi dengan kemampuan membayar. Hal ini menyebabkan pelanggan merasa khawatir dan tidak yakin ketika memutuskan untuk bertransaksi. Di sinilah, pelaku bisnis berperan dalam mengambil hati pelanggan dengan menawarkan ambil alih risiko.

Adanya kebijakan masa garansi yang lebih panjang dan bahkan proses pengembalian barang tanpa syarat bisa menjadi pilihan. Walaupun taktik ini cenderung berisiko tinggi, namun tidak menutup kemungkinan pelaku bisnis dapat meraup cash di depan.

2) Incar Superconsumer untuk bayar lunas di depan.

Pertama > mereka yang mengejar harga murah dengan tidak memedulikan kualitas. Kedua > mereka yang masih percaya “ada harga ada barang”, ada kerelaan membayar
asal mendapatkan kualitas sepadan.
Ketiga > pelanggan yang paling menarik, mereka adalah superconsumer. Kualitas nomor satu itulah pertimbangan utama bagi segmen ini.

3) Percepat peluncuran produk yang sudah di-pipeline.

Jangan tunda peluncuran produk barumu, bahkan untuk produk yang belum seratus persen final. Dalam masa sulit, loyalitas pelanggan mudah terombang-
ambing. Seketika jika ada produk pesaing yang menjadi solusi, pelanggan akan segera pindah. Ada dua manfaat dari melakukan taktik ini;
*Pertama, pelanggan punya alasan untuk menantikan produkmu. Di saat kondisi penuh dengan frustrasi, energi positif
seperti inovasi produk memberikan optimisme.
*Kedua, Kamu bisa memprediksi seberapa besar antusiasme pelanggan terhadap produk barumu. Buatlah sistem
pre-order, misalnya. Saat jumlah yang diproduksi mendekati permintaan pasar, maka terjadi penghematan inventori, utang pada pemasok, dan tentunya cash di muka.

4) Waktunya putus hubungan dengan sacred cow.

Dalam bisnis, sacred cow adalah sebuah istilah mengacu pada pihak yang secara politik dihormati, namun sulit atau salah jika dikritisi. Dalam rantai pasok, hal lumrah
jika terdapat sacred cow, misalnya rekan bisnis yang tidak fair, namun tetap berelasi karena sudah terlanjur berbisnis dengan kamu berpuluh-puluh tahun. Di saat kondisi baik-baik saja, mungkin kamu tidak punya alasan kuat untuk menghentikan kerja sama. Nah, saat masa sulit seperti inilah, Kamu terlihat wajar jika memutus hubungan yang
tidak menguntungkan. Tidak ada pilihan lain karena bisnis harus bertahan.

5) Tetap akuisisi pelanggan baru.

Bukan alasan bagi pelaku bisnis untuk tidak mencari pelanggan baru di masa krisis. Mereka yang loyal seringkali menekan harga dan menunda pembayaran di saat sulit. Karena itu, kamu memerlukan wajah baru untuk bertahan. Walaupun taktik ini bisa digunakan oleh industri mana pun, akan lebih baik jika diterapkan di industri yang fokus menjual intellectual property, seperti software, pelatihan, dan jasa, dimana biaya marginal cenderung rendah.