Penulis: Dinda Mega Natasya
Malang, Smart Indonesia Academy — Ketika kita menemui orang yang tidak mau terlibat dalam proses perubahan di organisasinya, kita menyebut orang itu resisten. Ketika kita menjumpai orang yang malas – malasan dalam bekerja, kita menyebut orang itu tidak
punya ketangguhan motivasi. Dan ketika kita bersua dengan orang yang kurang tekun meraih aspirasinya, kita menyebutnya sebagai orang yang tidak punya kemauan
kuat untuk sukses.
Seperti contoh berikut;
1) Pak Mamat itu mah orangnya resisten, ndak mau berubah.
2) Kalau Mas Dodo itu memang ndak punya motivasi untuk bekerja.
3) Wah, kalau mbak Siti memang dari dulu ndak punya kemauan tinggi untuk berhasil.
Ah, betapa seringnya kita menjumpai ucapan seperti itu. Dan harap sodara-sodara ketahui, semua ucapan itu adalah sebuah kesalahan. Semua kalimat itu adalah sejenis kutukan yang akan membawa kita jatuh dalam
willpowertrap.
Lalu apa sih sebenarnya Willpower trap itu?untuk definisinya sendiri Willpower trap adalah sejenis jebakan yang akan membawa kita untuk segera menuding kekuatan willpower (kemauan atau motivasai diri) sebagai sumber masalah ketika kita menjumpai ketidakberhasilan seseorang.
Beberapa pertanyaan juga muncul, semisal ;
1) Kenapa banyak orang tidak rajin berolahraga? Yah, karena banyak orang yang malas, dan tidak memiliki motivasi.
2)Kenapa banyak orang mengerjakan tugas kantor selalu pas di ujung deadline? Jawabannya cukup sederhana, karena banyak orang yang tidak punya disiplin diri mengatur waktu.
3) kenapa banyak orang yang berkeinginan memiliki usaha sendiri, namun banyak pula yang tidak mulai-mulai. Itu semua disebabkan oleh mereka semua yang penakut dan tidak punya kemauan kuat untuk jadi pengusaha.
Semua contoh diatas adalah tanda kita terpelanting dalam willpower trap : atau sikap yang menjadikan kemauan diri (willpower) sebagai biang keladi. Akibat asumsi yang keliru ini, kita kemudian meracik jurus solusi yang juga jadi “lucu”.
Begitulah, karena menganggap bawahan kita atau dirimu kurang motivasi lalu dengan seenaknya mengundang ahli motivasi : yang dengan gagah menjelaskan bahwa kerja itu bukan sekedar tindakan fisik dan mencari uang belaka (jadi kalau begitu untuk cari apa dong). Dan bahwa kerja itu bagian dari
ibadah yang mesti kita tekuni dengan penuh dedikasi (aih, aih, betapa manisnya kalimat ini. Problemnya, minggu depan para karyawan itu kembali ke mode tulalit).
Atau untuk mendorong banyak orang jadi entrepreneur, lantas ramai-ramai muncul seminar dengan tema seperti itu (harapannya dengan itu banyak orang terdorong jadi
saudagar).
Masalahnya, semua solusi itu keliru karena tergelincir dalam willpower trap tadi. Salah karena berangkat dari asumsi yang juga keliru, yakni bahwa penyebab kenapa
perilaku orang tidak optimal adalah karena kemauannya yang kurang.
Padahal riset-riset tentang human behavior menyebut satu elemen yang jauh lebih powerful dalam menentukan perilaku seseorang. Elemen itu adalah KONTEKS.
Situasi di sekeliling kita. Atau lingkungan dan separangkat infrastruktur yang mengitari kehidupan kita. Konteks itu bisa berujud macam-macam, bisa berupa sistem reward and punishment yang jelas, bisa berujud
fasilitas gym di dalam kantor, bisa berupa program mentoring entrepreneur baru, dan beragam contoh lainnya.
Intinya konteks adalah seperangkat situasi dan infrastruktur yang ada di sekeliling kita; yang amat berperan dalam menentukan perilaku kita. Begitulah misalnya, ratusan riset menunjukkan hadirnya sistem reward dan punishment yang tegas membuat level
motivasi karyawan naik 5 kali lipat lebih tinggi (dan ini tanpa perlu pakar motivasi yang hanya bisa blah-blah itu).
Studi juga menujukkan fasilitas Gym di lingkungan kantor membuat karyawan lebih rajin tiga kali lipat untuk berolahraga.
Program mentoring untuk menciptakan calon wirausaha baru juga jauh lebih efektif untuk membangun barisan entrepreneur unggul (dibanding ratusan seminar).
Semua ilustrasi diatas adalah contoh kekuatan konteks. Hadirnya konteks (berupa sistem atau lingkungan infrastruktur) ini memberikan dorongan powerful untuk
mengubah perilaku seseorang.
Dan sebaliknya, tanpa kehadiran konteks yang pas, banyak orang tidak terdorong untuk mengubah perilaku ke arah yang diiinginkan.
Dengan kata lain, banyak orang yang tidak melakukan perilaku yang diharapkan, bukan karena orang itu malas, tidak punya motivasi atau kurang punya kemauan.
Study after study menunjukkan, sebabnya lebih dikarenakan tiadanya konteks yang pas. Atau tidak hadirnya dukungan sistem dan lingkungan infrastruktur yang mampu
mengubah perilakunya.
Demikianlah, kelak ketika Anda merasa kurang berhasil menjalani impian hidup Anda, jangan segera menganggap diri Anda malas, dan menyesali diri sendiri.
Problemnya mungkin konteks di sekeliling Anda yang kurang pas. Dan karena itu, perlu segera direkayasa agar lebih pas dengan tujuan hidup Anda. Bahasa kerennya,
context reengineering.